USAHA BERSAMA (SYIRKAH)
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
FIQIH MUAMALAH MUNAKAHAH
Dosen
Pembimbing
Bpk. Fahrur Rozi
Disusun
oleh
Fajrul
Islam B01211039
JURUSAN KOMUNIKASI DAN
PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang
ditandai dengan berkembangannya sains dan teknologi, perkembangan kegiatan
ekonomi dengan beragam bentuk dan macamnya turut mewarnai perkembangan dunia
bisnis. Bentuk-bentuk transaksi bisnis dan kegiatan ekonomi berkembang cepat
seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Transaksi bisnis
kontemporer yang berkembang tidak hanya dilakukan oleh perorangan, namun juga
oleh berbagai kelompok usaha yang bergabung dalam badan hukum usaha (syirkah)
tertentu, seperti Perseroan Terbatas, CV, Firma, Koperasi dan sebagainya.
Berbagai badan hukum inilah yang mewarnai ragam perusahaan yang ada sekarang.
Melihat begitu beragamnya transaksi bisnis serta
organisasi atau kelompok usaha yang mengelola transaksi bisnis tersebut, maka
adalah suatu keharusan bagi kaum Muslimin untuk mengkaji bagaimana bentuk
transaksi bisnis dan badan hukum menurut sisi Syari'at Islam ? Hal ini
penting mengingat aktivitas seorang Muslim harus selalu terikat dengan aturan
Allah SWT sebagai wujud bukti keimanannya dan dalam rangka menyiapkan
kehidupannya di akhirat. Pengkajian ini juga penting untuk melihat sejauh mana
peranan Syariat Islam dalam menjawab perkembangan zaman khususnya perkembangan
transaksi bisnis.
Dalam dunia bisnis, jika seseorang memiliki modal
dan kemampuan usaha maka orang tersebut kemungkinan besar akan
mengembangkan uangnya sendiri. Namun bila tidak, maka ia bisa bekerja sama
dengan orang lain yang mampu berusaha. Dan jika modalnya kurang, ia bisa
bekerjasama dengan orang lain lagi untuk menambah modal. Sementara orang yang
punya keahlian atau kemampuan serta kesempatan untuk berusaha, tapi tidak
memiliki dana; atau kemampuan yang dimilikinya masih kurang, maka ia bisa
bekerjasama dengan orang lain yang memiliki dana atau keahlian. Inilah
kerjasama (syirkah), baik menyangkut keahlian maupun dana, dalam
berusaha meraih atau mengembangkan harta.[1] Bentuk-bentuk
kerjasama dan tata caranya, diatur dalam bab syirkah (Usaha bersama).
B. Rumusan masalah
Pada makalah ini, akan kami coba sajikan
secara umum bagaimana bentuk-bentuk perseroan (syirkah) menurut Islam. Hal ini
penting agar kita dapat menilai bagaimana kedudukan badan hukum usaha
(perseroan) yang ada selama ini. Apakah sesuai dengan prinsip-prinsip perseroan
di dalam Islam atau tidak ? Jika telah sesuai maka tentunya kita dapat
memanfaatkannya dalam kegiatan bisnis. Jika tidak sesuai, apa yang harus kita
lakukan ? Apakah kita menghindarinya ? atau kita lakukan perubahan agar sesuai
dengan prinsip-prinsip perseroan dalam Islam?
C. Tujuan
Berdasarkan alasan di atas, maka tanggung jawab kita
bersama sebagai kaum muslim untuk selalu mengkaji dan mengetahui hukum-hukum suatu
perkara dalam sudut pandang islam. Termasuk dalam hal “Usaha Bersama
(syirkah)”, agar kita dapat mengetahui secara jelas hukum dari permasalahan
ini.
Pengkajian ini juga penting untuk melihat sejauh
mana peranan Syariat Islam dalam menjawab perkembangan zaman khususnya
perkembangan transaksi bisnis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
dan Dasar Hukum Usaha Bersama (Syirkah) dalam Islam
Syirkah dari segi bahasa adalah ( al ikhtilath)
yaitu penggabungan dua harta atau lebih menjadi satu bagian utuh. Sedang
menurut Istilah syari’, makna syirkah adalah hak kepemilikan suatu hal
(yaitu kerjasama dalam usaha atau sekedar kepemilikan suatu benda) oleh dua
orang atau lebih sesuai prosentase tertentu.[2]
Hukum melakukan syirkah adalah mubah, dengan dalil
dari Alquran dan As sunnah serta Ijma’
Dasar dari Alqur’an adalah Firman Allah Ta’ala : {فهم شركاء في الثلث} [النساء:12/4] “maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”. Dalam
ayat tersebut Allah taala menerangkan bahwa saudara seibu jika lebih dari satu
maka mereka bersekutu dalam kepemilikan sepertiga harta warisan (pen-dengan
syarat syarat yang telah ditentukan).[3]
Adapaun dasar dari Sunnah Dalam syirkah ada
keberkahan dari Allah Ta’ala dalam bentuk perlindungan dan kemudahan dalam
menjalankan usaha selama tidak terjadi penghianatan.
ففي الحديث القدسي فيما يروى عن أبي
هريرة رفعه إلى النبي صلّى الله عليه وسلم قال: إن الله عز وجل يقول: «أنا ثالث
الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه، فإذا خانه خرجت من بينهما» رواه أبو داود
Dalam
hadit qudsi , sebagaimana yang diriwayatkan oleh abu huroiroh dari Rasulullah
Shalallhu alaihi wasalam bersabda: sesungguhnya Allah azza wajala berkata :
"Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang
melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada
peseronya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar
dari mereka (tidak melindungi)”.
Syirkah bisa dilakukan sesama muslim, dan juga
bersama orang kafir.
عن عبد الله بن عمر أن رسول الله -صلى
الله عليه وسلم- عامل أهل خيبر بشطر ما خرج منها من زرع رواه مسلم و أبو داود.أو ثمر
"Rasulullah
telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orangYahudi) dengan mendapat bagian
dari hasil panen tanaman dan buah.".
Dalil ketiga adalah ijma’ yakni ulama’ kaum muslimin
telah bersepakat tentang diperbolehkannya syrirkah (perseroan), namun mereka
berikhtilaf dalam beberapa macam jenis syirkah.
B. Rukun dan Syarat Syirkah
RUKUN
Syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung.[4]
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga
shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni),
syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan
harta);
3. Obyek akad (mahal), disebut juga
ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl).
Menurut
ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan
orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Dan
menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul,
kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
SYARAT
Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah.[5]
Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah itu batal.
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua)
yaitu:
1. Obyek akadnya berupa tasharruf,
yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad
jual-beli;
2. Obyek akadnya dapat diwakilkan
(wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra
usaha).
C.
Macam-Macam Syirkah
Syirkah al-amlak (perserikatan dalam
pemilikan)
Syirkah al-‘uqud (perserikatan
berdasarkan suatu akad)
1.
SYIRKAH AL-AMLAK
Menurut Sayyid Sabiq, syirkah
al-amlak adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa
didahului aqad, baik bersifat ikhtiari atau jabari. Syirkah al-amlak terbagi
dua :
a.
Ikhtiari (perserikatan yang dilandasi
pilihan orang yang berserikat), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan
hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli suatu barang,
atau mereka menerima harta hibah secara berserikat. Maka barang atau harta
tersebut menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
b.
Jabari (perserikatan yang muncul secara
paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), seperti harta warisan,
menjadi milik bersama orang-orang yang berhak menerima warisan.
Status
harta dalam syirkah al-amlak adalah sesuai hak masing-masing, bersifat mandiri
secara hukum. Jika masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat
itu, harus ada izin dari mitranya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak
dibahas secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
2.
SYIRKAH AL-‘UQUD
Akad yang disepakati dua orang atau
lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Syirkah
al-‘uqud terbagi lima:
a.
Syirkah al-‘inan (شركة العنان), yaitu perserikatan dalam modal (harta)
antara dua orang atau lebih, yang tidak harus sama jumlahnya. Keuntungan dan
kerugian dibagi dua sesuai prosentase yang telah disepakati. Sedangkan kerugian
menjadi tanggung jawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan prosentase
penyertaan modal/saham masing-masing. Para ulama sepakat, hukumnya boleh.
b.
Syirkah Abdan/A’mal, perserikatan yang dilakukan oleh dua
pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti kerjasama seprofesi antara dua
orang arsitek atau tukang kayu dan pandai besi untuk menggarap sebuah proyek.
Hasil atau imbalan yang diterima dibagi bersama sesuai kesepakatan. Menurut
ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya boleh. Ulama Malikiyah
mengajukan syarat, yaitu bahwa kerja yang dilakukan harus sejenis, satu tempat,
serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing.
Menurut ulama Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah, perserikatan seperti ini hukumnya
tidak sah, karena yang menjadi obyek perserikatan adalah harta/modal, bukan
kerja, disamping pula, kerja seperti ini tidak dapat diukur, sehingga dapat
menimbulkan penipuan yang membawa kepada perselisihan.
c.
Syirkah al-Mudharabah, persetujuan antara pemilik modal
dengan pengelola untuk mengelola uang dalam bentuk usaha tertentu,
keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian menjadi
tanggungan pemilik modal saja.
d.
Syirkah Wujuh, serikat yang dilakukan dua orang atau lebih
yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan
kredit serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungannya dibagi
bersama. Mirip seperti kerja makelar barang, bukan makelar kasus (markus).
Ulama Hanafiah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena
masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak
lain itupun terikat pada transaksi yang dilakukan mitra serikatnya. Sedangkan
ulama Malikiyah, Syafi’iyah menyatakan tidak sah dan tidak dibolehkan, karena
modal dan kerja dalam perserikatan ini tidak jelas.
e.
Syirkah Mufawadhah, perserikatan dua orang atau lebih pada
suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang sama
jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama pula. Jika mendapat
keuntungan dibagi rata, dan jika berbeda tidak sah. Masing-masing pihak hanya
boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari pihak lain (sebagai
wakilnya), jika tidak, maka transaksi itu tidak sah. Ulama Hanafiah dan
Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti ini dibolehkan. Sedangkan ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh, karena sulit untuk menentukan
prinsip kesamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan itu, disamping
tidak ada satu dalilpun yang shahih yang bisa dijadikan dasar hukum. Tetapi
mereka membolehkan Mufawadhah seperti pandangan Malikiyah, yaitu boleh
mufawadhah jika masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum
secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah
dengan mitra serikatnya.
D. Hikmah
Syirkah
Syirkah
mengandung hikmah yang sangat besar, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat
luas, diantaranya sebagai berikut :[6]
1. Terkumpulnya modal dengan jumlah
yang sangat besar, sehingga dapat digunakan untuk mengadakan pekerjaan-pekerjaan
besar pula.
2. Dapat memperlancar laju perkembangan
ekonomi makro.
3. Terciptanya lapangan pekerjaan yang
lebih luas dan mandiri.
4. Terjalinnya rasa persaudaraan di
antara sesama pemegang modal dan mitra kerja yang lain.
5. Pemikiran untuk memajukan perusahaan
menjadi lebih banyak karena berasal dari banyak orang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Manusia tidak dapat hidup sendirian,
pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran Islam mengajarkan
agar kita menjalin kerjasama dengan siapapun terutama dalam bidang ekonomi
dengan prinsip saling tolong-menolong dan saling menguntungkan (mutualisme),
tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa kerjasama maka kita sulit untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Syirkah pada hakikatnya adalah
sebuah kerjasama saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki
baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya
untuk bekerja sama sesuai prinsip di atas.
Hukum
syirkah sendiri adalah boleh (mubah/halal) sebagaimana kebolehan kita makan,
minum dan lain-lain sejauh tidak ada hal yang melarangnya (mengharamkannya di
dalam Qur’an maupun Sunnah).
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an surat An nisa’
Anonim, Belajar Efektif Fiqih Kelas X Madrasah Aliyah,
Intimedia
Anonim, LKS Fiqih untuk Madrasah Aliyah
[3] Al-qur’an Surat
An nisa’ : 12
[4] Anonim, LKS Fiqih untuk Madrasah Aliyah
[5] Anonim, Belajar Efektif Fiqih Kelas X Madrasah Aliyah,
Intimedia
No comments:
Post a Comment