Thursday, October 18, 2012

Makalah pemikiran psikologi islam


MAKALAH
PEMIKIRAN PSIKOLOGI ISLAM
Oleh : Fajrul Islam




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dewasa ini, kiblat ilmu dan teknologi adalah Barat. Agar umat Islam menjadi umat yang maju dan kompetitif, maka umat Islam harus menuntut, menyerap, mempelajari, dan menguasai ilmu dan teknologi tersebut kepada bangsa Barat.
Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang dewasa ini sedang berkembang pesat di dunia Barat. Psikologi telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam membantu manusia untuk memecahkan berbagai problema dan menyimak misteri hidup dan kehidupannya.
Melihat sumbangan psikologi yang demikian besar, maka psikologi adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh umat Islam. Tetapi sebagai ilmu yang dibangun dan dikembangkan dalam budaya Barat yang sebagian berbeda dengan budaya Islam, maka sangat mungkin kerangka pikir (mode of thought) psikologi dipenuhi oleh pandangan-pandangan atau nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang sebagian besar berbeda, dan mungkin sangat bertentangan, dengan pandangan atau nilai-nilai Islam.

B.     Rumusan masalah
Makalah ini membahas tentang :
1.      Pemikiran psikologi dalam perkembangan pemikiran Islam dengan memfokuskan pembahasan pada latar belakang kemunculan pemikiran psikologi dalam khazanah pemikiran Islam.
2.      Perkembangan diskursus paradigma psikologi dalam Islam guna memberikan gambaran pada pembaca tentang apa yang berlangsung saat ini dalam pemikiran Islam dalam bidang psikologi ini.
3.      implikasi pemikiran psikologi dalam dunia Islam untuk memberikan gambaran terkini pada pemikiran psikologi dalam dunia Islam.

C.     Tujuan
Makalah ini diharapkan dapat menjadi rujukan ringan dalam menyemai, memupuk, menumbuhkan dan memetik hasil kerja dalam bidang psikologi Islam yang dinanti-nantikan produksinya bukan saja oleh kalangan Muslim, namun oleh semua manusia yang ingin jati diri kemanusiaanya sempurna pertumbuhan dan perkembangannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Kemunculan Pemikiran Psikologi Dalam Islam
Menapak-tilasi latar belakang kajian psikologi dalam Islam dilakukan pertama sekali dengan menelusuri ayat-ayat Alqur’an dan Hadis yang memotivasi manusia untuk mengkaji dirinya sendiri yang antara lain adalah:
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ ﴿٢١﴾
Artinya :
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin 8 Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan? (QS. 51/Al-Dzariat: 20-21)

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. 41/Fuşilat: 53)

Termasuk dalam hal ini mengkaji sisi psikologis manusia.

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً ﴿١٩﴾ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً ﴿٢٠﴾ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً ﴿٢١﴾
Artinya:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir 8 Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah 8 dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. 70/Al-Ma’ârij: 19-21)

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا ﴿٧﴾ فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا ﴿٨﴾ قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا ﴿٩﴾ وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ﴿١٠﴾
Artinya:
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) 8 Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya 8 Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu 8 Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91/Al-Syams: 7-10)
Demikian juga hadis-hadis Rasulullah saw. banyak bermuatan tentang kejiwaan manusia yang antara lain adalah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ قَالَ وَأَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِىُّ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ».
Artinya:
Memberitakan kepada kami Yahyâ ibn Ayyûb dari ibn ‘Ulaiyah ia berkata memberitakan kepada kami Sulaimân al-Taimiy dari Anas ibn Mâlik ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, menyia-nyiakan usia dan dari sifat kikir. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari fitnah kehidupan serta kematian.
Dengan demikian jelas bahwa sumber utama ajaran Islam yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia secara fisikal, psikologikal, spiritual, dan sosial turut berperan dalam memicu lahirnya kajian psikologi dalam Islam.
Kedua, dilatarbelakangi oleh kajian tentang akhlak dan tasawuf dan berbagai kajian yang berkaitan dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, membuat para ilmuwan Islam klasik melakukan kajian mendalam tentang jiwa dengan fokus antara lain pada nafs, qalb, h, dan ‘aql. Kajian ini juga menyertakan para filusuf Muslim yang membahas h dan nafs dengan mengadopsi kajian roh dari filsafat Yunani. Selama lebih kurang tujuh abad psikologi dibahas dalam kajian filsafat dan tasawuf.[1]
Hasilnya adalah, pada masa keemasan Islam, psikologi ditekuni dan dikembangkan oleh dua kalangan: filusuf dan sufi, yang melahirkan psikologi-falsafi dan psikolog-sufistik. Mereka telah melahirkan konsep tentang jiwa secara menyeluruh dengan melakukan kajian terhadap nas-nas naqliyah dan melakukannya dengan metode empiris (perenungan, observasi dan praktek) secara sistematis, spekulatif, universal, dan radikal.[2]

B.     Paradigma Psikologi Dalam Perspektif Islam
Paradigma adalah “suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya.”[3]  Dengan demikian paradigma psikologi secara umum adalah prilaku manusia dan faktor-faktor yang memicu prilaku tersebut.
Di dalam Islam, manusia diciptakan dengan fungsi yang tidak hanya terbatas untuk menata kehidupan manusia, ia juga memiliki fungsi sebagai hamba Allah dan juga khalifah Allah. Sebagaimana terdapat dalam Firman Allah berikut ini:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51/al-Dzariyat: 56)
Sebagai hamba manusia harus menjalin hubungan dengan Allah dan menujukan semua aktifitas jasmani dan rohaninya hanya pada Allah. Selain itu, Sebagai khalifah di bumi manusia harus menata kehidupannya dengan sesama manusia dan semua makhluk Allah yang lain termasuk alam raya. Kedua fungsi tersebut harus dilakukan sesuai dengan hukum-hukum Allah yang telah Ia tetapkan dalam alam dunia ini. Oleh sebab itu mengkaji hukum-hukum Allah tersebut merupakan kemutlakan jika manusia ingin berhasil menata kehidupannya dan kehidupan alam semesta.
Dengan demikian yang menjadi pokok persoalan psikologi dalam padangan Islam adalah keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, dan alam raya.
Paradigma psikologi dalam perspektif Islam tidak dapat dipisahkan dari cara manusia mengkaji psikologi itu sendiri. Dari perspektif Islam, manusia dianugerahi tiga alat dalam mencari ilmu pengetahuan: panca indera, akal (‘aql, lub), dan hati (qalb, fu’ad).[4]

C.     Implikasi Pemikiran Psikologi Dalam Dunia Islam
Dalam bidang psikologi tentu saja islamisasi tidak terelakkan, sebab konsep psikologi yang saat ini ada gagal membicarakan manusia secara totalitas. Kegagalan ini berupa pengkajian terfokus pada manifestasi gejala jiwa (tingkah laku) dan bukan jiwa itu sendiri, penafian unsur-unsur spiritual manusia, dan dibangun atas dasar penafsiran fakta ilmiah sedangkan fakta ilmiah tidak selalu sesuai dengan teori dan selalu dipengaruhi bias kepribadian dan budaya pembangunnya. Para ahli psikologi Muslim dan para pencinta psikologi Islam akhirnya aktif memunculkan Psikologi Islam dalam dunia psikologi.
Untuk mewujudkan Psikologi Islam ini setidaknya ada empat tahap yang harus ditempuh:
Pertama, melakukan reskonstruksi sistematis terhadap Psikologi agar dapat melahirkan konsep yang mengintegrasikan ketauhidan dengan seluruh aspek kehidupan manusia yakni: sejarah, pengetahuan, metafisika, etika, tata sosial, ummah, keluarga, tata politik, tata ekonomi, tata dunia dan estetika. Proses islamisasi Psikologi ini tentu saja sama dengan proses islamisasi sains dan tehnologi lainnya. Dalam hal ini Ismail Raji al-Faruqi menetapkan lima prinsip pokok dan lima sasaran rencana islamisasi.[5]
Kedua, mensosialisasikan hasil-hasil rekonstruksi Psikologi Islam kemudian dikembangkan, diperkaya, dilipat gandakan dan yang tidak kalah pentingnya juga harus ditingkatkan dengan memperluas fungsinya sampai kepada dimensi masyarakat secara global.
Ketiga, mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga keilmuan Islam dalam usaha pencapaian pengembangan Psikologi Islam. Termasuk didalamnya mengembangkan budaya ilmiah.
Keempat, membentuk dan menyebarluaskan Psikologi Islam sebagai satu bentuk kebudayaan dan peradaban Islam. Ini merupakan titik akhir dari perjuangan umat Islam terhadap kebudayaan dan peradaban manusia. Tahap ini sangat penting, sebab kebudayaan dan peradaban yang sekarang ini terbangun dari gagasan-gagasan yang didasarkan pada asumsi, meredupkan aqidah.


















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam perspektif islam psikologi adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh umat Islam. Karena psikologi telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam membantu manusia untuk memecahkan berbagai problema dan menyimak misteri hidup dan kehidupannya.
Yang menjadi pokok persoalan psikologi dalam padangan Islam adalah keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, dan alam raya. Paradigma psikologi dalam perspektif Islam tidak dapat dipisahkan dari cara manusia mengkaji psikologi itu sendiri. Dari perspektif Islam, manusia dianugerahi tiga alat dalam mencari ilmu pengetahuan: panca indera, akal (‘aql, lub), dan hati (qalb, fu’ad).



















DAFTAR PUSTAKA

Shaleh, Abd. Rahman, 2003, Psikologi suatu pengantar dalam perspektif islam, Jakarta : prenada media
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000)
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali, 2001)
Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)


[1] Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 261.
[2] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali, 2001), h. xiv.
[3] Ali Mudhafir, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1992), h. 114 dikutip oleh Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 341.
[4] Shaleh, Abd. Rahman, 2003, Psikologi suatu pengantar dalam perspektif islam, Jakarta : prenada media
[5] Isma’il Raji  al-Faaruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988).

makalah aliran murji'ah


ALIRAN MURJI’AH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
ILMU KALAM





Dosen Pembimbing
Abdullah Sattar, S.Ag. M.Fil.I

Disusun oleh
Fajrul Islam                             B01211039



JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua agama yang diturunkan Allah SWT ke muka bumi (agama wahyu), menempatkan tauhid di tempat yang pertama dan utama, karena itu setiap rasul yang diutus Allah SWT mengemban tugas untuk menanamkan, tauhid kedalam jiwa umatnya, mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menyembah, mengabdi dan berbakti kepadanya, melarang mereka menyekutukan Allah dalam bentuk apapun, baik zat, sifat, maupun af’alnya.[1]
Misi risalah semacam ini pulalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW, karena itu, tema sentral setiap da’wah dan seruannya adalah tauhid, bahkan, pada awal masa kerasulannya adalah tauhid, selama dimekah, beliau memfokuskan perhatian kepada pembinaan tauhid ini sehingga semua aktifitas da’wahnya diarahkan ke masalah tauhid, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada periode mekkah pun berisi masalah-masalah ketauhidan beliau dan baru pada masa madinah diarahkan kepada pembinaan hukum-hukum Allah, itu tanpa meninggalkan, bahkan untuk memperkokoh tauhid.
Mendahulukan dan mengutamakan aspek aqidah (tauhid) di dalam risalah Nabi Muhammad SAW daripada aspek hukum, bukan saja karena tauhid merupakan dasar pokok ajaran islam dan fondasi yang didirikan di atasnya. Bangunan-bangunan hukum /moral, dan sebagainya, tetapi juga karena hukum-hukum Allah tersebut tidak akan bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik dan benar tanpa keimanan yang kuat dan kokoh, penerimaanm penghayatan dan pengamalan terhadap hukum-hukum tuhan hanya bisa terwujud dengan baik jika seseorang memiliki keimanan yang kuat. Sebaliknya, hukum-hukum tuhan juga diperlukan untuk memantapkan ketauhidan seseorang, makin baik seseorang melaksanakan hukum-hukum tersebut, makin kuat bertambah imannya dengan demikian aqidah (tauhid) dan hukum (syari’at) mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dan tak terpisahkan.[2]
Pada zaman rasul SAW, sampai masa pemerintahan usman bin affan (644,656M), problem ketauhidan (teologis) di kalangan umat islam belum muncul problem ini baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi thalib (656-661M) dengan munculnya beberapa kelompok/aliran karena perbedaan pendapat dalam masalah tahkim antara ali dengan muawiyah, bin abi sufyan , gubernur syam, pada waktu perang shiffin.
B. Perumusan Masalah
Dalam makalah yang berjudul “Aliran Murji’ah” ini penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana asal-usul kemunculan aliran murji’ah
2. Apa pokok ajaran aliran murji’ah
3. Bagaimana sekte-sekte yang ada di aliran murji’ah
C. Tujuan Penulisan
Setiap penulisan pasti mempunyai tujuan, dan tujuan tersebut harus dicapai, adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui asal-usul pokok ajaran Murji’ah
2. Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran aliran Murji’ah
3. Untuk mengetahui sekte yang ada di aliran Murji’ah



BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN MURJI’AH
A. Asal-Usul Kemunculan Aliran Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan, kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah, selain itu, Arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Term Murji’ah juga bisa memberikan pengertian “menangguhkan hukum perbuatan seseorang sampai di hadapan Allah SWT. Golongan ini memang berpendapat bahwa muslim yang berbuat dosa besar tidak dihukum kafir, tetapi tetap mukmin, mengenai dosa besar yang dilakukannya di serahkan kepada keputusan Allah Nanti. Allah bisa mengampuni dosa itu, bisa pula tidak, semuanya merupakan urusan Allah SWT, dengan demikian muslim yang berdosa besar masih mempunyai harapan mendapatkan ampunan Allah SWT. Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah.
Teori Pertama : Mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam. Ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme, Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersaman dengan kemunculan syi’ah dan khawarij.
Teori ke dua : Sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. dengan menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan usman, ali dan zubayar (seorang tokoh pembelot ke mekah).
Teori ketiga : menceritakan ketika terjadi perseteruan antara ali dan muawiyah dalam perang shiffin, dilakukan tahkim/arbitase atas usulan. Amr bin Ash, kaki tangan muawiyah, kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra kelompok kontra yaitu golongan khawarij, menyatakan bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an karena tidak berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa pelaku tahkim adalah dosa besar, pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat yang kemudian disebut golongan murji’ah yang menyatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah apakah dia akan mengampuninya atau tidak.
B. Pokok-Pokok Ajaran Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’ atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan politik dan teologi, dibidang politik doktrin irja di implementasikan sebagai sikap “dram”, sikap politik netral atau non blok, adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan ketika menanggapi persoalan yang mencakup iman, kufur dosa besar dan ringan, tauhid tafsir Al-Qur’an,  pengampunan atas dosa besar, kemaksuman Nabi, hukuman atau dosa, ada yang kafir dikalangan generasi awal islam, tobat, hakikat Al-qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan.
Doktrin teologi murji’ah menurut W. Mango Merry watt :
a. Penangguhan keputusan terhadap ali dan muawiyah, hingga Allah Memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali Untuk menduduki tangking ke empat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
c. Pemberian harapan (Giving Of Hope), terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dadri Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (Madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan helenis
Doktrin teologi murji’ah, menurut Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya yaitu:[3]
a. menunda hukuman atas Ali, Muawiyah Amr bin Ash, dan abu musa Al-asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak
b. Menyerahkan keputusan Allah atas orang muslim yang berdosa besar
c. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Abu A’la Al-Mahmudi menyebutkan dua doktrin periode ajaran Murji’ah.
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasulnya saja, adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman, berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata, selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang, untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjalankan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
C. Sekte-sekte Murji’ah
Dalam perkembangannya mazhab murji’ah yang Samman dan Dirar bin Umar mengalami perbedaan pendapat dikalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Al Syahrastani membagi kelompok-kelompok Murji’ah yaitu sebagai berikut :[4]
a. Murji’ah Khawarij
b. Murji’ah Qadariyah
c. Murji’ah Jabari’ah
d. Murji’ah Murni
e. Murji’ah sunni (tokohnya adalah abu hanifah)
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte murjiah :
  1. Al-Jahmiyah, pengikut John bin Shufwan
  2. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
  3. Al-Yunushiyah, Pengikut Yunus As-Samary
  4. As-Samriyanh, Pengikut abu samr dan yunus
  5. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Sufyan
  6. Al-Ghailaniyah, pengikut abu marwah Al-Ghailan bin marwan ad-Dimsaqy
  7. An Najariyah, Pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr
  8. Al-Hanifyah, pengikut Abu Harfah An-Nu’man
  9. Asy-Syabibiyah, pengikut muadz Ath, Thaum’i
Harun Nasution secara garis besar membagi dalam 2 sekte yaitu :[5]
  1. Golongan moderat
  2. Golongan ekstrim
Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir’ tidak pula kekal di dalam neraka, mereka di siksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang tuhan dan Rasul-rasulnya, serta apa saja yang datang darinya secara keseluruhan namun dalam garis besar, iman dalam hal ini tidak bertambah dan berkutang, penggagas pendirian ini adalah; Al Hasan bin Muhammad bin Abi Bin Thalib, abu hanifah, abu yusuf dan beberapa ahli hadist.
Murji’ah ekstrim diantaranya adalah kelompok-kelompok sebagai berikut :
a. Jahmiyah, Kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya keada tuhan kemudian menyatakan kekufurannya, secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b. Shalihiyah, Kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu tuhan salat bukan merupakan ibadah kepada Allah
c. Yang disebut ibadah adalah iman kepadanya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa da haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
d. Yunusiyah dan Ubaidilah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan, dalam hal ini, muqotil bin sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politerest).
e. Husaniyah, menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan “saya tahu tuhan melarang makan babi tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”. Maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir begitu pula orang yang menyatakan, “saya tahu tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau tempat lain”.
Pendapat-pendapat ekstrim seperti diuraikan di atas menimbulkan pengertian bahwa, hanya imanlah yang penting dan menentukan mukmin atau tidaknya mukminnya seseorang, perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini, karena yang penting ialah iman dalam hati, ucapan dan perbuatan tidak merusak iman.
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat memperlemah ikatan moral yang akan mengakibatkan adanya masyarakat bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan dari norma akhlak yang berlaku, karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma akhlak kurang penting dan diabaikan, inilah kelihatannya yang menjadi penyebab kurang baik dan kurang disenangi dari ajaran aliran Murji’ah.
Tetapi pendapat dari golongan Murji’ah moderat, sesuai dengan pendapat dari golongan Asy’ariah atau golongan ahlu sunnah bahwa, iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke esaan Allah dan tentang kebenaran Rasul-rasulnya serta segala apa yang mereka bawa mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun islam hanya merupakan cabang iman. Pelaku dosa besar jika meninggal dunia tanpa taubat, ada kemungkinan diampuni tetapi ada pula tidak akan diampuni, tetapi akan di siksa dahulu di neraka.
Golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah, tetapi ajaran mereka tentang iman, kufur dan dosa besar masuk ke dalam aliran ahli sunah wal jama’ah, adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang tetapi dalam prakteknya, secara tak sadar banyak umat manusia mengikuti aliran Murji’ah ekstrim.











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Aliran Murji’ah mempunyai pendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir tetapi tetap mukmin dan keputusannya ditangguhkan sampai hari akhirat
- Seorang pendosa besar selama masih ada iman akan tetap masuk surga dan kepatuhan atau ibadahlah yang akan menentukan derajat seseorang dalam surga.
- Golongan Murji’ah moderat maupun ekstrim sudah tidak ada lagi pada dewasa ini sebagai golongan berdiri sendiri, tetapi sebagian ajarannya ada yang masih dipergunakan oleh golongan yang lain seperti ahli sunah wal jama’ah.
B. Saran-saran
Penulisan makalah ini tentulah banyak sekali kekurangannya, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun baik dari dosen mata kuliah aqidah/Ilmu kalam maupun dari rekan-rekan mahasiswa.









DAFTAR PUSTAKA
- Nasution Harun, DKK, Teologi Islam, Aliran-alian Sejarah Analisis Perbandingan, U.I Pers Jakarta.
- Anwar Rosihan, Drs. Rosak Abdul, Drs. M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka setia
- Asmuni Yusran, H.M, Drs, Ilmu Tauhid, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
- Al Maududi Abdul ‘Ala”. Al Khalifah Wa Al-Mulk, Terjema’ahan Muhammad Al-Baqir, Mizan Bandung, 1994.



[1] Asmuni Yusran, H.M, Drs, Ilmu Tauhid, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
[2] Anwar Rosihan, Drs. Rosak Abdul, Drs. M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka setia
[3] Nasution Harun, DKK, Teologi Islam, Aliran-alian Sejarah Analisis Perbandingan, U.I Pers Jakarta.
[4] Watt, Early Islam hal (181)
[5] Nasution Harun, DKK, Teologi Islam, Aliran-alian Sejarah Analisis Perbandingan, U.I Pers Jakarta.