MEMAHAMI
HISTORIS AL-QUR’AN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
STUDI AL-QUR’AN
Dosen Pembimbing
Prof. Sunardji Dahri Tiam
Disusun oleh
Fajrul Islam B01211039
JURUSAN
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
mempelajari ilmu Al-Qur’an, ada beberapa
hal yang penting untuk dipelajari dan salah satunya adalah bagaimana Al-Qur’an
diturunkan dan bagaimana Al-Qur’an itu dibukukan pada masa khulafaur Rasyidin.
Karena dengan mengetahui bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an kita dapat mengerti bagaimana usaha-usaha para sahabat
untuk tetap memelihara Al-Quran.
Al-qur’an merupakan
salah satu kitab yang mempunyai sejarah panjang yang dimiliki
oleh umat Islam dan sampai sekarang masih terjaga keasliannya.
Al-qur’an bukan hanya sekedar menjadi bahan bacaan, akan
tetapi Al-qur’an memiliki multifungsi dan selalu cocok dengan fenomena
dalam kehidupan ini, hal ini merupakan salah satu mukjizat yang
dimiliki oleh al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana periode turunnya Al-Qur’an
2. Bagaimana penulisan Al-qur’an
3. Bagaimana pengumpulan Al-qur’an
4. Bagaimana Penyalinan Al-Qur’an
C.
Tujuan
1. Untuk menegtahui Bagaimana periode
turunnya Al-Qur’an
2. Untuk menegtahui Bagaimana penulisan
Al-qur’an
3. Untuk mengetahui Bagaimana pengumpulan
Al-qur’an
4. Untuk mengetahui Bagaimana Penyalinan
Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Periode Turunnya Al-Quran
Al-Quran
Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT.
dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode
penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah,
selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan
pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di
dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan
akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah
umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau
tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu
persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain
yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur
hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras,
perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
Yang
demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan
hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati
oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu
dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika,
Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa
Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan
Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya,
terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui
periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
Para
ulama ‘Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1)
Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun
pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada
periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan dibagi
sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode
pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari ayat-ayat
Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian demikian
untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran.
1. Periode Pertama
Diketahui
bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra’), belum dilantik
menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi
yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun
wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang
diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai
yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74:1-2).
Kemudian,
setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan
bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya:
Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu
agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan
sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau
melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).
Dalam
wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai
orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit
darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah
Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).
Perintah
ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan
menurunkan kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).
Ada lagi
ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.
Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman
yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah:
aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS 26:214-216).
Demikian
ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi suksesnya dakwah.
Kedua,
pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al Allah, misalnya surah
Al-A’la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut
hadis Rasulullah “sebanding dengan sepertiga Al-Quran”, karena yang
mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid
dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
Ketiga,
keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara
umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca,
misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang
menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap
fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup
bergotong-royong.
Periode
ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi
di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga
hal pokok:
- Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
- Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami.”
- Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
2. Periode Kedua
Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.
Dimulai
dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut
ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya
mereka semua –termasuk Rasulullah saw.– berhijrah ke Madinah.
Pada
masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun
menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi
dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan
hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang
sebaik-baiknya (QS 16:125).
Dan, di
lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum
musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka
katakanlah wahai Muhammad: “Aku pertakuti kamu
sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud”
(QS 41:13).
Selain
itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi mengenai
keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat
mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan
perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: “Siapakah yang
dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?” Katakanlah,
wahai Muhammad: “Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada
mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu,
wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar.”
Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa
itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah
menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: “Jadilah!”Maka jadilah ia (QS
36:78-82).
Ayat ini
merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari
kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: “Siapakah di antara manusia dan
filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf
ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya
saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk
dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa
sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya.”[1]
Disini
terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah
dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam
rasio dan alam pikiran sehat.
3. Periode Ketiga
Selama
masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi
besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan
ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah
Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di mana timbul
bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip
apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah
sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain,
yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda?
Dengan
satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini,
Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang
mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang
memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih
berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman.
Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta
menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta
memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
Adakalanya
pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya,
seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya
minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari
perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian
mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali
menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras
dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang,
maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).
Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat
juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap
Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan
mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga
kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).
Semua
ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai
Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil
memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam
bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut).
Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang
korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah
kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang
tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka
golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan
Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang
beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada
mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).
Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang
Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab
dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang
benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang
ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah
(Muhammad): “Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita
menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali
Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat
sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah.” Maka bila mereka berpaling
katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim” (QS
3:64).
B. PENULISAN AL-QUR`AN
Ketika
diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasul saw langsung menyuruh para sahabat
untuk menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah
mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu menuliskannya ke
dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang
pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipis.
Mengenai lembaran-lembaran ini
Allah SWT berfirman:
Rasuulun minallaaHi yatluu
shuhufan muthaHHarah
Artinya:
(yaitu) seorang utusan Allah
(yakni Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an) (QS.
Al-Bayyinah [98]: 2)
Rasulullah saw mengizinkan kaum
muslimin untuk menuliskan al-Qur`an berdasarkan apa yang beliau diktekan kepada
para penulis wahyu. Rasulullah saw bersabda:
Laa taktubuu ‘annii, wa man
kataba ‘annii ghairal qur`aani falyamhuHu
Artinya:
Janganlah kalian menulis
dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain al-Qur`an hendaknya ia
menghapusnya. (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak khawatir
dengan hilangnya ayat-ayat al-Qur`an karena Allah telah menjamin untuk
memeliharanya berdasarkan nash yang jelas:
Innaa nahnu nazzalnadz
dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS.
Al-Hijr [15]:9)
Rasulullah saw
gembira dan ridha dengan al-Qur`an sebagai mukjizat terbesarnya yang dapat
digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang Arab maupun orang-orang di
seluruh dunia
Ketika Nabi saw
wafat, al-Quran secara keseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran,
tulang-tulang, pelepah kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan para
sahabat ra.
C. PENGUMPULAN AL-QUR`AN
Di masa
pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra,
terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan banyak sekali para qurra’/ para
huffazh (penghafal al-Qur`an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin
Khaththab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur`an
akibat wafatnya para huffazh. Maka beliau berpikir tentang pengumpulan
al-Qur`an yang masih ada di lembaran-lembaran.
Zaid
bin Tsabit ra berkata, “Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku
tentang korban Perang Ahlul Yamamah”. Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq memberikan
perintah kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Qur’an.
Oleh karena itu
Zaid bin Tsabit mulai menyusun al-Qur`an dan mengumpulkannya dari pelepah
kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan para sahabat,
hingga Zaid bin Tsabit mendapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah
al-Anshari yang tidak beliau temukan dari yang lainnya, yaitu ayat:
Laqad jaaa`akum rasuulun min
anfusikum ‘aziizun ‘alaiHi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum bil mu`miniina
ra`uufur rahiim
Artinya:
Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah [9]: 128)
Pengumpulan
al-Qur`an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan para
huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di
hadapan Rasulullah saw. Lembaran-lembaran al-Qur`an tersebut tidak diterima,
kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang
menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan
Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat :
1) Harus
diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat.
2) Harus
dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Saking
telitinya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak
bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat at-Taubah
tsb ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para
sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa
Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah
sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka
menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah,
walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-Qur`an, namun mereka tidak
hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja.
Akhirnya,
rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang sangat berat namun sangat mulia
ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan al-Qur`an untuk
ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang
telah ditulis di hadapan Rasulullah saw ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran
al-Qur`an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada
pada Umar bin al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah
binti Umar ra sesuai wasiat Umar.
D. PENYALINAN AL-QUR`AN
Kemudian
datanglah masa pemerintahan Amirul Mu`minin Utsman bin Affan ra.
Di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah
bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca
al-Qur`an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay
bin Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar
oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca al-Qur`an
dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak
pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya
peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim. Perbedaan bacaan
tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Karena terjadi
perbedaan bacaan antar para shahabat, maka Usman bin Affan mengambil kebijakan
untuk segera menyalin Al-qur’an ke dalam bentuk mushaf.
Utsman lalu
memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash,
dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam
beberapa mushhaf.
Setelah mereka
menyalin lembaran-lembaran tersebut ke dalam mushhaf, Utsman segara
mengembalikannya kepada Hafshah.
Utsman kemudian
mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam agar
orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang al-Qur`an. Jumlah salinan yang
telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan
masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah
dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf
Utsmani.
Utsman kemudian
memerintahkan al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang
bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar.
Pada masa
berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf
Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita
sekarang.
Adapun
pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang
warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang
terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari
kesalahan bacaan bagi para pembaca al-Qur`an yang kurang mengerti tata bahasa
Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti.
Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai
dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah
huruf.
Begitu pula
pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah
Abdul Malik bin Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan
huruf lainnya.Dengan demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang
adalah sama dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT
telah menjamin terjaganya al-Qur`an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti
satu huruf saja dari al-Qur`an kecuali hal itu akan terungkap.
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa, sejarah Al-qur’an meliputi periode turunnya Al-Qur’an, proses penulisan Al-qur’an, proses pengumpulan Al-qur’an, dan juga proses Penyalinan Al-Qur’an.
Dalam proses penulisan dan pengumpulan
Al-qur’an terjadi pada masa kholifah Abu bakar Ash-Shiddiq. Sedangkan proses
penyalinan dan pembukuannya terjadi pada masa kholifah Usman bin Affan. Oleh
karena itu proses tersebut dinamakan “Mushaf Usmani”.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Halim Mahmud, Al-Tafsir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab
Al-Lubnaniy, Beirut, 1982, h. 73-74.
[1] ‘Abdul Halim Mahmud, Al-Tafsir Al-Falsafiy fi
Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut,
1982, h. 73-74.
No comments:
Post a Comment