SEJARAH
PERKEMBANGAN HADIST
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
STUDI HADIST
Dosen Pembimbing
Mohammad Rofik, S.Ag. M.Pd.
Disusun oleh
Fajrul Islam B01211039
JURUSAN
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semua ulama
dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan Hadits dalam berbagai disiplin Ilmu
dan menjadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an. Untuk memahami Hadits dengan baik
kita perlu mengetahui Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadits agar kita
dapat memahami sejauh mana pertumbuhan dan perkembangannya dari masa ke masa. Diantara
ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan
hadits. Ada yang membaginya pada tiga periode saja, yaitu masa rasulullah SAW
Sahabat dan Tabi’in, masa pentadwinan dan masa setelah tadwin.
Sedangkan
menurut Prof.Dr.T.M hasbi ash Shiddieqy, dalam bukunya Sejarah dan Pengantar
Ilmu hadits, bahwa apabila kita pelajari dengan seksama suasana dan keadaan
yang telah dilalui hadist sejak dari zaman tumbuhnya hingga dewasa ini,
dapatlah kita menarik sebuah garis, bahwa hadits Rasul sebagai dasar Tasyri’
yang kedua telah melalui enam masa dan sekarang sedang menempuh periode
ketujuh.
B. Rumusan masalah
Terlepas dari
periodesasi yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut diatas, makalah ini
membahas : bagaimana kondisi hadits pada masa kelahirannya, masa penulisan,
masa pembukuan, masa pentashihan, masa pengkajian sampai pada masa kontemporer
dan juga cara Nabi menyampaikan hadist kepada para sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Masa Kelahiran Hadits
Pada Masa ini
Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian parasahabat. Apapun yang didatangkan
oleh Nabi Muhammad SAW baik berupaucapan, perbuatan maupun ketetapan merupakan
referensi yang dibuat pedoman dalam kehidupan para sahabat.[1]
Setiap sahabat
mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan rasulullah. Adakalanya yang disebut
dengan “al-sabiqun al-awwalun” yakni para sahabatyang pertama-tama masuk Islam,
seperti Khulafaurrasyidin dan Abdullah IbnuMas’ud. Ada juga sahabat yang
sungguh-sungguh menghafal hadis rasul,misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga
sahabat yang usianya lebih panjang darisahabat lain, sehingga mereka lebih
banyak menghafalkan Hadits, seperi Anas binMalik, Abdullah bin Abbas. Demikian
juga ada sahabat yang mempunyaihubungan erat dengan Nabi SAW, seperti Aisyah,
Ummu Salamah danKhulafaurrasyidin. Semakin erat dan lama bergaul semakin banyak
pula Hadits yang diriwayatkan dan validitasnya tidak diragukan.[2]
Namun demikian
sahabat juga adalah manusia biasa, harus mengurusrumah tangga, bekerja untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadis
disaksikan langsung oleh seluruh sahabat. Sehingga sebagian sahabat menerima
hadits dari sahabat lain yang mendengar langsung ucapan Nabi atau melihat
langsung tindakannya. Apalagi sahabat yang berdomisili didaerah yang jauh dari
Madinah seringkali hanya memperoleh hadits dari sesama sahabat.
B.Masa Penulisan Hadits
Pada zaman
Rasul, ternyata tidak sedikit diantara sahabat yang secara pribadi telah berusaha
mencatat hadits-hadits rasul.
Shahifah yang
berisi catatan hadits Rasul itu dibuat dari pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit
kayu dan tulang-tulang hewan. Menurut penelitian Dr. Muhammad Mushthafa
al-A’zhami jumlah para sahabat yang memiliki shahifah (catatan-catatan) hadits
adalah sekitar 50 orang. Sedangkan jumlah hadits yang dicatat dalam
shahifah-shahifah itu,menurut munadzir Ahsan Kailani adalah lebih dari 10.000
hadits. Sejumlah sahabat Nabi yang memiliki catatan-catatan dan melakukan
penulisan terhadap hadits diantaranya sebagai berikut :
a.
Abdullah
ibn Amr al-Ash (7 SH – 65 H) ia memiliki catatan hadits yang menurut
pengakuannya dibenarkan oleh rasulullah SAW, sehingga diberinya nama
al-shahifah al-shadiqah yang memuat sekitar seribu hadits.
b.
Jabir
Ibn Abdillah ibn Amr al-Anshari (w. 78 H ), ia memiliki catatan hadits dari
Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian diriwayatkan
oleh Muslim. Catatannya ini dikenal denganShahifah Jabir.[3]
c.
Abu
Hurairah al-Dausi ( w. 59 H ), ia memiliki catatan hadits yangdikenal dengan
nama al-Shahifah al-Shahifah. Hasil karyanya inidiwariskan kepada anaknya
bernama Hammam.[4]
Ini membuktikan
bahwa penulisan hadits telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW masih hidup,
meskipun demikian pada masa sahabat dan tabiinmasih terjadi perdebatan seru
antara kebolehan penulisan hadits dengan larangan penulisannya. Sebab pada
periode ini para sahabat memiliki komitmen terhadapkitab suci Al-Qur’an. Mereka
memelihara dalam lembaran-lembaran mushaf dandidalam hati mereka. Ketika
kekhawatiran tersebut hilang dan terdapat kebutuhanuntuk menulis hadits, maka
penulisan hadits tidaklah dianggap tabu.[5]
C.Masa Pembukuan Hadits (Tadwin
al-Hadits)
Yang dimaksud
dengan tadwin al-hadits pada periode ini adalah kodifikasi atau pembukuan
secara resmi berdasarkan perintah Kepala Negara,dengan melibatkan beberapa
tokoh yang ahli dibidangnya, bukan yang dilakukan secara perseorangan untuk
kepentingan pribadi, seperti yang pernah terjadi padamasa Rasulullah SAW.[6]
Usaha ini
dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin olehKhalifah Umar bin Abd
al-Aziz (Khalifah ke 8 dari kekhalaifaan bani Umayyah), melalui instruksinya
kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para
penghafalnya. Khalifah menginstruksikan kepadaAbu bakar Ibn Hazm agar
mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman al-Anshari
(murid kepercayaan Aisyah) dan al-qasim binMuhammad bin Abi Bakr. Instruksi
yang sama juga ditujukan kepada Muhammad bin Syihab al-Zuhri, yang dinilainya
sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui hadits dari pada lainnya.Umar bin
Abd al-Aziz memamg hidup dalam suasana ilmiah dan sebagai Amirul Mu’minin ia
tidak jauh dari ulama. Ia menilai penting memelihara danmenghimpun hadits
rasulullah SAW karena didorong oleh aktivitas para tabi’inyang sudah
membolehkan pembukuan hadits. Faktor lain yang berpengaruh terhadap jiwa para
ulama dan amirul mukminin adalah munculnya praktek pemalsuan hadits yang dilatar belakangi oleh
persaingan politik dan perselisihan antar aliran.[7]
Sistem
pembukuan pada fase ini masih bersifat temporer, yakni masih berbaur antara
hadits Nabi, fatwa-fatwa sahabat, juga fatwa-fatwa tabi’in.[8]
Buku-buku yang
ditulis pada masa itu dan kini yang sudah dicetak dan beredar antara lain :
1.Al-Muwaththa’ Karya Imam malik bin
Anas
2.Al-Mushannif karya Abdurrazak bin
hammam As-Shan’ani
3.As-Sunah karya Said bin Mansur
4.Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah.
D.Masa Pentashihan Hadits
Masa
pentashihan atau penyaringan hadits ketika pemerintahan dipegangoleh dinasti
bani Abbas, khususnya sejak masa al-makmum sampai dengan al-Muktadir (sekitar
tahun 201-300 H).
Pada Masa ini
para ulama hadits mulai memisahkan mana hadits dan mana fatwa sahabat dan
tabi’in, demikian pula memilah-milah mana haditsshahih, hasan maupun yang
dhaif. Disamping itu pula menetapkan kaidah-kaidahhadits, ilat-ilat hadits dan
tafsir sejumlah perawi-perawi hadits, sehinggamuncullah Ilmu Dirayah Hadits
yang banyak macamnya disamping Ilmu RiwayahHadits. Dari kriteria yang mereka
pergunakan dalam menilai hadits, makamuncullah kitab-kitab Shahih dan
kitab-kitab musnad.
Kitab-kitab
tersebut pada perkembangannya kemudian dikenal dengan Kutub al-Sitta (Kitab
induk yang enam).
Secara lengkap
kitab induk yang enam tersebut dapat diurutkan sebagai berikut :[9]
1.Al-Jami’al-Shahih susunan Imam
al-Bukhari
2.Al-Jami’al-Shahih susunan Imam
Muslim
3.Al-Sunan susunan Abu Dawud
4.Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi
5.Al-Sunan susunan An-Nasa’i
6.Al-Sunan susunan Ibnu Majah
Untuk
mengumpulkan, menyaring dan mensistematisir produk hadits yang sangat melimpah
ini, sejumlah ulama terkemuka telah melakukan perjalanan menjelajah seluruh
dunia pada masa itu. Pencari-pencari hadits yang bersemangat pergi dari suatu
tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari orang lain yang satu ke orang yang
lain.
Tujuannya tiada
lain adalah untuk menetapkan keshahihan sebuah hadits. Dalam menetapkan
dasar-dasar pentashihan sebuah hadits, para ulamhadits memperhatikan beberapa
kriteria misalnya rijal al-hadits, apakah ia pernah bertemu dengan orang yang
ia riwayatkan haditsnya atau tidak? Apakah ia orangcacat, tercela atau sering
berbuat tidak sopan? Imam Bukhari misalnya, dalammenetapkan sunah sangat ketat
sekali, sehingga para ulama hadits manyatakan bahwa Imam al-Bukhari orang yang
kuat hafalannya dan jarang bandingannya,disamping itu beliau mempunyai keahlian
dalam meneliti keadaan perawi-perawiyang tampaknya kurang baik.
Terkadang Imam
Bukhari dan Imam Muslim berbeda dalam menentukan kriteria dan syarat bagi
seorang perawi, seperti masalah rijalul hadits harus lebih erat dengan perawi,
perawi harus lebih erat dengan perawi yang memberi periwayatannya. Tetapi
kedua-duanya sama-sama menentukan syarat bahwa hadits sanadnya harus
bersambung, dan perawinya muslim yang berpredikat “al-Shiddiq” tak suka
bertadlis dan tidak berubah akal, bersikap adil, kuat hafalannya, tak ragu-ragu
dan baik pula iktikadnya. Beberapa kitab-kitab Hadits yang disusun pada masa
itu : 1.Kitab-kitab shahih, yaitu kitab-kitab yang memuat hadits-hadits shahih
saja. 2.Kitab-kitab sunan, yaitu kitab-kitab yang memuat hadits-hadits shahih dan
hadits-hadits yang tidak terlalu dhaif. 3.Kitab-kitab musnad yaitu kitab-kitab
yang menyusun segala macam hadits tanpa memperdulikan shahih tidaknya, serta
tidak menerangkan derajat-derajatnya.[10]
Kitab-kitab
shahih diwakili oleh kitab al-Buchari dan kitab Muslim. Imam Bukhari menyusun
kitab bernama al-Jama Shahih al-Musnadi min hadits rasul yang dikenal dengan Shahih al-Bukhari. Kitab
ini merupakan kitab pedoman kedua setelah al-Qur’an. Isi kandungannya berjumlah
9082 hadits marfu’ dan sejumlah hadits maqthu dan mauquf. Sedang Imam Muslim
menyusun kitab bernama al-Jami’ al-Shahih yang dikenal dengan Shahih Muslim,
keistimewaan kitab ini adalah susunannya lebih baik dari pada Shahih Bukhari.
Dan kedudukannya Shahih Muslim menurut para ulama nomor dua setelah Shahih Bukhari.
Selanjutnya
kitab-kitab sunan diwakili oleh Sunan an-Nasa’i yang dinamakan al-Mutaba’ min
as-sunah dan Sunan Abu Dawud yang berisikan 4800hadits setelah adanya
penyeleksian dari 500.000 hadits yang ditulisnya dan Sunanal-Turmudzi, serta
Sunan Ibnu Majah dan sunan al-Darimy.Dan untuk kitab-kitab musnad diwakili oleh
kitab Musnad Imam ahmad bin Hambali yang berisikan 40.000 buah hadiits dan
10.000 diantaranya yang diulang-ulang.[11]
E.Masa Pengkajian Hadits
Pada masa ini
para ulama hadits mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab hadits
untuk topik-topik tertentu. Untuk itu mereka membuat sistematika penyusunan
hadits agar memudahkan pengkajiannya.Tentunya sistematika susunan hadits pada
masa ini lebih baik dari masa-masa sebelumnya, karena upaya ulama pada masa ini
bukan mencari, tetapi hanya mengumpulkan dan selanjutnya mensistemasi menurut
kehendak atau kebutuhannya. Ada yang mensistemasi menurut kehendak pengarang
sendiri, ada yang mensisitemasi dengan mendahulukan bab Thaharah, Wudhu dan
kemudian shalat dan seterusnya, misalnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Bakar, maka diletakkan dibawah nama Abu bakar. Ada juga yang mensistemasi
dengan bagia-bagian, yaitu bagian seruan, larangan, khabar, ibadah dan af’al.
Demikian pula ada yang menyusun berdasarkan abjad hijaiyyah, seperti kitab
al-jami’Shagir oleh al-Syuyuti.
Beberapa kitab
yang disusun berdasarkan sistematika penyusunan hadits yang telah ditetapkan
para ulama hadits pada masa itu antara lain :1.Kitab-kitab Mustakhraj adalah
kitab yang haditsnya diambil dari hadits perawi lain dari sanad perawi yang
diambilnya dan kadang-kadang paramustakhraj meninggalkan suatu periwayatan
karena tidak memperbolehkan sanad sendiri. 2.Kitab-kitab Mustadrak adalah kitab
yang haditsnya didapat dari pengumpulan hadits yang memiliki syarat-syarat
al-Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau
dishahihkan oleh beliau berdua.[12]
Kedua kitab inilah yang paling banyak diproduksi dan model tersebut merupakan
ciri khas dari pembukuan hadits pada masa ini.
F. Masa Kontemporer
Yang dimaksud
dengan masa kontemporer dalam konteks ini adalahzaman mutaakhkhirin, yaitu era
tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
Seperti kita
ketahui para muhadditsin yang hidup pada abad kedua dan ketiga dinamakan
“Mutaqaddimin” sedang yang hidup pada abad keempat dinakaman “Mutaakhkhirin”
dan kebanyakan yang mereka kumpulkan adalah darihasil petikan atau nukilan dari
kitab-kitab Mutaqaddimin.
Ciri-ciri masa
ini hampir sama dengan masa pengkajian, hanya sajacakupannya diperluas.
Misalnya masa pengkajian mengumpulkan dari beberapakitab hadits lalu
disitematisasi menurut kehendak muallif. Pada masa ini disamping mengumpulkan
para ulama juga menyusun kitab zawid yakni penyusunan kitab yang hadits-hadits
tidak termuat dan tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumya. Demikian juga
merenovasi nilai-nilainya dalam kitab tertentuserta menerangkan tempat-tempat
pengambilan hadits-hadits yang semula perawinya tidak disebutkan.
Kecenderungan
Ulama Mutaakhkhirin adalah menyusun Hadits menurut topik (mawdhu) yang
dibicarakan, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
- Menetapkan masalah atau topik yang akan dibahas.
- Menghimpun hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut.
- Menyusun runtutan hadits sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbabul wurudnya.
- Memahami korelasi hadits-hadits tersebut dalam babnya masing-masing.
- Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
- Melengkapi pembahasan dengan ayat-ayat yang relevan dengan topik tersebut.
- Mempelajari hadits-hadits tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun hadits-hadits yang mempunyai makna yang sama atau mengkompromikan anatara yang amm (umum) dan yang khas (khusus), Muthlaq yang Muqayyad (terikat) atau yang pada lahitnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muatan atau perbedaan atau pemaksaan.
Tokoh-tokoh
hadits pada masa kontemporer antara lain : 1.Imam Az-Zahabi, as-Suyuti (w 911
H)2.Ibnu Taimiyah (611-728 H = 1263-1328 M)3.Ibnu Hajaral-Asqalani (773-853
H)4.Imam Muhammad Abu Zahrah (w 1394 H)5. Syekh Mansur Ali Nasif, Syekh Ismail
bin Muhammad bin Abdul HadiAl-Ajluni al-jarahi (w 1162 H = 1749 M)6.Muhammad
bin Asy-Syaukani (w 1250 H = 1834 M)
Disamping itu
tokoh hadits kontemporer yang paling terkenal sekarangini adalah Yusuf Qardhawi
yang lahir di Mesir (9 September 1926) danMuhammad al-Ghazali lahir di Mesir
Tahun 1917 dan wafat 1996.
Kedua tokoh
hadits kontomporer ini banyak melakukan kajian-kajiansecara menyeluruh tentang
hadits dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan modern. Meskipun ada
sebagian ulama yang menggolongkannya sebagai inkarussunnah. Ini mungkin
disebabkan karena beliau sangat ketat dalam menentukan keshahihan sebuah
hadits.
G. Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Pada Para Sahabat
Sebagai seorang
Nabi, tentu beliau memiliki teknik atau cara-cara untuk mencontohkan perilaku
dan menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya. Untuk itu, "menurut
riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan
rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan haditsnya dengan
berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti
pengajiannya".
Ada beberapa
teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan Hadits kepada para sahabat, yang
disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Untuk itu, teknik atau cara yang
digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan Hadits, sebagai berikut :
a.
Melalui
para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi. Melalui
majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits,
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti
kegiatannya.
b.
Dalam
banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat
tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang
lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para sahabat
yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW
sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang
saja.
c.
Melalui
ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan fathul
Makkah.
d.
Melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya'hadah),
seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
e.
Para
sahabat yang mengemukakan masalah atau bertanya dan berdiolog langsung kepada
Nabi SAW.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan
diatas kita dapat mengambil kesimpulan : 1.Sejarah pertumbuhan dan perkembangan
Hadits dimulai sejak NabiMuhammad SAW diangkat menjadi Rasul. 2.Penulisan
hadits sudah ada sejak Rasulullah masih hidup.
Shahifah yang
berisi catatan hadits Rasul itu dibuat dari pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit
kayudan tulang-tulang hewan. 3.Masa Pembukuan hadits yang secara resmi
dilakukan atas kebijaksanaan pemerintah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin
Abd Aziz (w 101 H). 4.Masa pentashihan atau penyaringan hadits dimulai ketika
pemerintahandipegang oleh dinasti bani Abbas, khususnya sejak masa al-makm um
sampaidengan al-Muktadir (sekitar tahun 201 – 300 H). 5.Pada masa Pengkajian
hadits para ulama hadits mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab hadits
untuk topik-topik tertentu. Masa kontemporer adalah zaman mutaakhkhirin, yaitu
era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
Dan cara-cara
Rasul menyampaikan hadist kepada para sahabat berkaitan dengan majlis Nabi,
berkaitan dengan peristiwa yang dialami kaum muslimin, dan berkaitan dengan
peristiwa yang langsung disaksikan oleh para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
- Prof.Dr.Muhaimin,MA, Dr.Abdul Mujib,M.Ag, Dr.Jusuf Mudzakkir,M.Si, Kawasan dan wawasan studi Islam, (Cet 1 : Jakarta, Kencana, 2005).
- Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet 11, Yogyakarta :Tiara wacana Yogya, 2003).
- Muhammad Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat tadwin, diterjemahkan oleh: A.H.Akram Fahmi, dengan judul Hadits Nabi sebelum dibukukan, (Cet.I:Jakarta, Gema InsaniPress, 1999).
- Utang Ranuwijaya, pengantar Ilmu Hadits, (Cet.III; Jakarta, gaya Media Pratama,1998).
[1]Prof.Dr.Muhaimin,MA,
Dr.Abdul Mujib,M.Ag, Dr.Jusuf Mudzakkir,M.Si, Kawasan dan wawasan studi
Islam, (Cet 1 : Jakarta, Kencana, 2005) h. 1474
[2]Ibid
hal. 148
[3]Muh.Zuhri,
Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet 11, Yogyakarta :Tiara
wacana Yogya, 2003) h. 29
[4]Munzier
Supatra, Op. Cit, h. 76-77
[5]Muhammad
Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat tadwin, diterjemahkan oleh: A.H.Akram
Fahmi, dengan judul Hadits Nabi sebelum dibukukan, (Cet.I:Jakarta, Gema
InsaniPress, 1999) h.36-38
[7]
Muhammad
Ajaj al-Khatib, Op. Cit, h. 3,6,9,10
[8]Prof.Dr.Muhaimin,MA,
et al, Op. Cit, h.150
[9] Muh.Zuhri,
Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet 11, Yogyakarta :Tiara
wacana Yogya, 2003).
[10]Prof.Dr.Muhaimin,MA,
et al, Op. Cit, h. 152
[11]Ibid,
h. 15319
No comments:
Post a Comment