Friday, October 5, 2012

makalah sejarah perkembangan hadist


SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
STUDI HADIST




Dosen Pembimbing
Mohammad Rofik, S.Ag. M.Pd.

Disusun oleh
Fajrul Islam                             B01211039



JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Semua ulama dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan Hadits dalam berbagai disiplin Ilmu dan menjadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an. Untuk memahami Hadits dengan baik kita perlu mengetahui Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadits agar kita dapat memahami sejauh mana pertumbuhan dan perkembangannya dari masa ke masa. Diantara ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadits. Ada yang membaginya pada tiga periode saja, yaitu masa rasulullah SAW Sahabat dan Tabi’in, masa pentadwinan dan masa setelah tadwin.
Sedangkan menurut Prof.Dr.T.M hasbi ash Shiddieqy, dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, bahwa apabila kita pelajari dengan seksama suasana dan keadaan yang telah dilalui hadist sejak dari zaman tumbuhnya hingga dewasa ini, dapatlah kita menarik sebuah garis, bahwa hadits Rasul sebagai dasar Tasyri’ yang kedua telah melalui enam masa dan sekarang sedang menempuh periode ketujuh.
B. Rumusan masalah
Terlepas dari periodesasi yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut diatas, makalah ini membahas : bagaimana kondisi hadits pada masa kelahirannya, masa penulisan, masa pembukuan, masa pentashihan, masa pengkajian sampai pada masa kontemporer dan juga cara Nabi menyampaikan hadist kepada para sahabat.











BAB II
PEMBAHASAN

A.Masa Kelahiran Hadits
Pada Masa ini Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian parasahabat. Apapun yang didatangkan oleh Nabi Muhammad SAW baik berupaucapan, perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi yang dibuat pedoman dalam kehidupan para sahabat.[1]
Setiap sahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan rasulullah. Adakalanya yang disebut dengan “al-sabiqun al-awwalun” yakni para sahabatyang pertama-tama masuk Islam, seperti Khulafaurrasyidin dan Abdullah IbnuMas’ud. Ada juga sahabat yang sungguh-sungguh menghafal hadis rasul,misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga sahabat yang usianya lebih panjang darisahabat lain, sehingga mereka lebih banyak menghafalkan Hadits, seperi Anas binMalik, Abdullah bin Abbas. Demikian juga ada sahabat yang mempunyaihubungan erat dengan Nabi SAW, seperti Aisyah, Ummu Salamah danKhulafaurrasyidin. Semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula Hadits yang diriwayatkan dan validitasnya tidak diragukan.[2]
Namun demikian sahabat juga adalah manusia biasa, harus mengurusrumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadis disaksikan langsung oleh seluruh sahabat. Sehingga sebagian sahabat menerima hadits dari sahabat lain yang mendengar langsung ucapan Nabi atau melihat langsung tindakannya. Apalagi sahabat yang berdomisili didaerah yang jauh dari Madinah seringkali hanya memperoleh hadits dari sesama sahabat.

B.Masa Penulisan Hadits
Pada zaman Rasul, ternyata tidak sedikit diantara sahabat yang secara pribadi telah berusaha mencatat hadits-hadits rasul.
Shahifah yang berisi catatan hadits Rasul itu dibuat dari pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit kayu dan tulang-tulang hewan. Menurut penelitian Dr. Muhammad Mushthafa al-A’zhami jumlah para sahabat yang memiliki shahifah (catatan-catatan) hadits adalah sekitar 50 orang. Sedangkan jumlah hadits yang dicatat dalam shahifah-shahifah itu,menurut munadzir Ahsan Kailani adalah lebih dari 10.000 hadits. Sejumlah sahabat Nabi yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits diantaranya sebagai berikut :
a.       Abdullah ibn Amr al-Ash (7 SH – 65 H) ia memiliki catatan hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasulullah SAW, sehingga diberinya nama al-shahifah al-shadiqah yang memuat sekitar seribu hadits.
b.      Jabir Ibn Abdillah ibn Amr al-Anshari (w. 78 H ), ia memiliki catatan hadits dari Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal denganShahifah Jabir.[3]
c.       Abu Hurairah al-Dausi ( w. 59 H ), ia memiliki catatan hadits yangdikenal dengan nama al-Shahifah al-Shahifah. Hasil karyanya inidiwariskan kepada anaknya bernama Hammam.[4]
Ini membuktikan bahwa penulisan hadits telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW masih hidup, meskipun demikian pada masa sahabat dan tabiinmasih terjadi perdebatan seru antara kebolehan penulisan hadits dengan larangan penulisannya. Sebab pada periode ini para sahabat memiliki komitmen terhadapkitab suci Al-Qur’an. Mereka memelihara dalam lembaran-lembaran mushaf dandidalam hati mereka. Ketika kekhawatiran tersebut hilang dan terdapat kebutuhanuntuk menulis hadits, maka penulisan hadits tidaklah dianggap tabu.[5]

C.Masa Pembukuan Hadits (Tadwin al-Hadits)
Yang dimaksud dengan tadwin al-hadits pada periode ini adalah kodifikasi atau pembukuan secara resmi berdasarkan perintah Kepala Negara,dengan melibatkan beberapa tokoh yang ahli dibidangnya, bukan yang dilakukan secara perseorangan untuk kepentingan pribadi, seperti yang pernah terjadi padamasa Rasulullah SAW.[6]
Usaha ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin olehKhalifah Umar bin Abd al-Aziz (Khalifah ke 8 dari kekhalaifaan bani Umayyah), melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. Khalifah menginstruksikan kepadaAbu bakar Ibn Hazm agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman al-Anshari (murid kepercayaan Aisyah) dan al-qasim binMuhammad bin Abi Bakr. Instruksi yang sama juga ditujukan kepada Muhammad bin Syihab al-Zuhri, yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui hadits dari pada lainnya.Umar bin Abd al-Aziz memamg hidup dalam suasana ilmiah dan sebagai Amirul Mu’minin ia tidak jauh dari ulama. Ia menilai penting memelihara danmenghimpun hadits rasulullah SAW karena didorong oleh aktivitas para tabi’inyang sudah membolehkan pembukuan hadits. Faktor lain yang berpengaruh terhadap jiwa para ulama dan amirul mukminin adalah munculnya praktek  pemalsuan hadits yang dilatar belakangi oleh persaingan politik dan perselisihan antar aliran.[7]
Sistem pembukuan pada fase ini masih bersifat temporer, yakni masih berbaur antara hadits Nabi, fatwa-fatwa sahabat, juga fatwa-fatwa tabi’in.[8]
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini yang sudah dicetak dan beredar antara lain :
1.Al-Muwaththa’ Karya Imam malik bin Anas
2.Al-Mushannif karya Abdurrazak bin hammam As-Shan’ani
3.As-Sunah karya Said bin Mansur 4.Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah.

D.Masa Pentashihan Hadits
Masa pentashihan atau penyaringan hadits ketika pemerintahan dipegangoleh dinasti bani Abbas, khususnya sejak masa al-makmum sampai dengan al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Pada Masa ini para ulama hadits mulai memisahkan mana hadits dan mana fatwa sahabat dan tabi’in, demikian pula memilah-milah mana haditsshahih, hasan maupun yang dhaif. Disamping itu pula menetapkan kaidah-kaidahhadits, ilat-ilat hadits dan tafsir sejumlah perawi-perawi hadits, sehinggamuncullah Ilmu Dirayah Hadits yang banyak macamnya disamping Ilmu RiwayahHadits. Dari kriteria yang mereka pergunakan dalam menilai hadits, makamuncullah kitab-kitab Shahih dan kitab-kitab musnad.
Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian dikenal dengan Kutub al-Sitta (Kitab induk yang enam).
Secara lengkap kitab induk yang enam tersebut dapat diurutkan sebagai berikut :[9]
1.Al-Jami’al-Shahih susunan Imam al-Bukhari
2.Al-Jami’al-Shahih susunan Imam Muslim
3.Al-Sunan susunan Abu Dawud
4.Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi
5.Al-Sunan susunan An-Nasa’i
6.Al-Sunan susunan Ibnu Majah
Untuk mengumpulkan, menyaring dan mensistematisir produk hadits yang sangat melimpah ini, sejumlah ulama terkemuka telah melakukan perjalanan menjelajah seluruh dunia pada masa itu. Pencari-pencari hadits yang bersemangat pergi dari suatu tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari orang lain yang satu ke orang yang lain.
Tujuannya tiada lain adalah untuk menetapkan keshahihan sebuah hadits. Dalam menetapkan dasar-dasar pentashihan sebuah hadits, para ulamhadits memperhatikan beberapa kriteria misalnya rijal al-hadits, apakah ia pernah bertemu dengan orang yang ia riwayatkan haditsnya atau tidak? Apakah ia orangcacat, tercela atau sering berbuat tidak sopan? Imam Bukhari misalnya, dalammenetapkan sunah sangat ketat sekali, sehingga para ulama hadits manyatakan bahwa Imam al-Bukhari orang yang kuat hafalannya dan jarang bandingannya,disamping itu beliau mempunyai keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawiyang tampaknya kurang baik.
Terkadang Imam Bukhari dan Imam Muslim berbeda dalam menentukan kriteria dan syarat bagi seorang perawi, seperti masalah rijalul hadits harus lebih erat dengan perawi, perawi harus lebih erat dengan perawi yang memberi periwayatannya. Tetapi kedua-duanya sama-sama menentukan syarat bahwa hadits sanadnya harus bersambung, dan perawinya muslim yang berpredikat “al-Shiddiq” tak suka bertadlis dan tidak berubah akal, bersikap adil, kuat hafalannya, tak ragu-ragu dan baik pula iktikadnya. Beberapa kitab-kitab Hadits yang disusun pada masa itu : 1.Kitab-kitab shahih, yaitu kitab-kitab yang memuat hadits-hadits shahih saja. 2.Kitab-kitab sunan, yaitu kitab-kitab yang memuat hadits-hadits shahih dan hadits-hadits yang tidak terlalu dhaif. 3.Kitab-kitab musnad yaitu kitab-kitab yang menyusun segala macam hadits tanpa memperdulikan shahih tidaknya, serta tidak menerangkan derajat-derajatnya.[10]
Kitab-kitab shahih diwakili oleh kitab al-Buchari dan kitab Muslim. Imam Bukhari menyusun kitab bernama al-Jama Shahih al-Musnadi min hadits rasul  yang dikenal dengan Shahih al-Bukhari. Kitab ini merupakan kitab pedoman kedua setelah al-Qur’an. Isi kandungannya berjumlah 9082 hadits marfu’ dan sejumlah hadits maqthu dan mauquf. Sedang Imam Muslim menyusun kitab bernama al-Jami’ al-Shahih yang dikenal dengan Shahih Muslim, keistimewaan kitab ini adalah susunannya lebih baik dari pada Shahih Bukhari. Dan kedudukannya Shahih Muslim menurut para ulama nomor dua setelah Shahih Bukhari.
Selanjutnya kitab-kitab sunan diwakili oleh Sunan an-Nasa’i yang dinamakan al-Mutaba’ min as-sunah dan Sunan Abu Dawud yang berisikan 4800hadits setelah adanya penyeleksian dari 500.000 hadits yang ditulisnya dan Sunanal-Turmudzi, serta Sunan Ibnu Majah dan sunan al-Darimy.Dan untuk kitab-kitab musnad diwakili oleh kitab Musnad Imam ahmad bin Hambali yang berisikan 40.000 buah hadiits dan 10.000 diantaranya yang diulang-ulang.[11]

E.Masa Pengkajian Hadits
Pada masa ini para ulama hadits mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab hadits untuk topik-topik tertentu. Untuk itu mereka membuat sistematika penyusunan hadits agar memudahkan pengkajiannya.Tentunya sistematika susunan hadits pada masa ini lebih baik dari masa-masa sebelumnya, karena upaya ulama pada masa ini bukan mencari, tetapi hanya mengumpulkan dan selanjutnya mensistemasi menurut kehendak atau kebutuhannya. Ada yang mensistemasi menurut kehendak pengarang sendiri, ada yang mensisitemasi dengan mendahulukan bab Thaharah, Wudhu dan kemudian shalat dan seterusnya, misalnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, maka diletakkan dibawah nama Abu bakar. Ada juga yang mensistemasi dengan bagia-bagian, yaitu bagian seruan, larangan, khabar, ibadah dan af’al. Demikian pula ada yang menyusun berdasarkan abjad hijaiyyah, seperti kitab al-jami’Shagir oleh al-Syuyuti.
Beberapa kitab yang disusun berdasarkan sistematika penyusunan hadits yang telah ditetapkan para ulama hadits pada masa itu antara lain :1.Kitab-kitab Mustakhraj adalah kitab yang haditsnya diambil dari hadits perawi lain dari sanad perawi yang diambilnya dan kadang-kadang paramustakhraj meninggalkan suatu periwayatan karena tidak memperbolehkan sanad sendiri. 2.Kitab-kitab Mustadrak adalah kitab yang haditsnya didapat dari pengumpulan hadits yang memiliki syarat-syarat al-Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh beliau berdua.[12] Kedua kitab inilah yang paling banyak diproduksi dan model tersebut merupakan ciri khas dari pembukuan hadits pada masa ini.
F. Masa Kontemporer
Yang dimaksud dengan masa kontemporer dalam konteks ini adalahzaman mutaakhkhirin, yaitu era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
Seperti kita ketahui para muhadditsin yang hidup pada abad kedua dan ketiga dinamakan “Mutaqaddimin” sedang yang hidup pada abad keempat dinakaman “Mutaakhkhirin” dan kebanyakan yang mereka kumpulkan adalah darihasil petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin.
Ciri-ciri masa ini hampir sama dengan masa pengkajian, hanya sajacakupannya diperluas. Misalnya masa pengkajian mengumpulkan dari beberapakitab hadits lalu disitematisasi menurut kehendak muallif. Pada masa ini disamping mengumpulkan para ulama juga menyusun kitab zawid yakni penyusunan kitab yang hadits-hadits tidak termuat dan tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumya. Demikian juga merenovasi nilai-nilainya dalam kitab tertentuserta menerangkan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits yang semula perawinya tidak disebutkan.
Kecenderungan Ulama Mutaakhkhirin adalah menyusun Hadits menurut topik (mawdhu) yang dibicarakan, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Menetapkan masalah atau topik yang akan dibahas.
  2. Menghimpun hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut.
  3. Menyusun runtutan hadits sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbabul wurudnya.
  4. Memahami korelasi hadits-hadits tersebut dalam babnya masing-masing.
  5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
  6. Melengkapi pembahasan dengan ayat-ayat yang relevan dengan topik tersebut.
  7. Mempelajari hadits-hadits tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun hadits-hadits yang mempunyai makna yang sama atau mengkompromikan anatara yang amm (umum) dan yang khas (khusus), Muthlaq yang Muqayyad (terikat) atau yang pada lahitnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muatan atau perbedaan atau pemaksaan.
Tokoh-tokoh hadits pada masa kontemporer antara lain : 1.Imam Az-Zahabi, as-Suyuti (w 911 H)2.Ibnu Taimiyah (611-728 H = 1263-1328 M)3.Ibnu Hajaral-Asqalani (773-853 H)4.Imam Muhammad Abu Zahrah (w 1394 H)5. Syekh Mansur Ali Nasif, Syekh Ismail bin Muhammad bin Abdul HadiAl-Ajluni al-jarahi (w 1162 H = 1749 M)6.Muhammad bin Asy-Syaukani (w 1250 H = 1834 M)
Disamping itu tokoh hadits kontemporer yang paling terkenal sekarangini adalah Yusuf Qardhawi yang lahir di Mesir (9 September 1926) danMuhammad al-Ghazali lahir di Mesir Tahun 1917 dan wafat 1996.
Kedua tokoh hadits kontomporer ini banyak melakukan kajian-kajiansecara menyeluruh tentang hadits dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan modern. Meskipun ada sebagian ulama yang menggolongkannya sebagai inkarussunnah. Ini mungkin disebabkan karena beliau sangat ketat dalam menentukan keshahihan sebuah hadits.
G. Cara Rasul Menyampaikan Hadist Pada Para Sahabat
Sebagai seorang Nabi, tentu beliau memiliki teknik atau cara-cara untuk mencontohkan perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya. Untuk itu, "menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya".
Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan Hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Untuk itu, teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan Hadits, sebagai berikut :
a.       Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
b.      Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja.
c.       Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan fathul Makkah.
d.      Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
e.       Para sahabat yang mengemukakan masalah atau bertanya dan berdiolog langsung kepada Nabi SAW.












BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan : 1.Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadits dimulai sejak NabiMuhammad SAW diangkat menjadi Rasul. 2.Penulisan hadits sudah ada sejak Rasulullah masih hidup.
Shahifah yang berisi catatan hadits Rasul itu dibuat dari pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit kayudan tulang-tulang hewan. 3.Masa Pembukuan hadits yang secara resmi dilakukan atas kebijaksanaan pemerintah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Abd Aziz (w 101 H). 4.Masa pentashihan atau penyaringan hadits dimulai ketika pemerintahandipegang oleh dinasti bani Abbas, khususnya sejak masa al-makm um sampaidengan al-Muktadir (sekitar tahun 201 – 300 H). 5.Pada masa Pengkajian hadits para ulama hadits mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab hadits untuk topik-topik tertentu. Masa kontemporer adalah zaman mutaakhkhirin, yaitu era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
Dan cara-cara Rasul menyampaikan hadist kepada para sahabat berkaitan dengan majlis Nabi, berkaitan dengan peristiwa yang dialami kaum muslimin, dan berkaitan dengan peristiwa yang langsung disaksikan oleh para sahabat.















DAFTAR PUSTAKA

  • Prof.Dr.Muhaimin,MA, Dr.Abdul Mujib,M.Ag, Dr.Jusuf Mudzakkir,M.Si, Kawasan dan wawasan studi Islam, (Cet 1 : Jakarta, Kencana, 2005).
  • Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet 11, Yogyakarta :Tiara wacana Yogya, 2003).
  • Muhammad Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat tadwin, diterjemahkan oleh: A.H.Akram Fahmi, dengan judul Hadits Nabi sebelum dibukukan, (Cet.I:Jakarta, Gema InsaniPress, 1999).
  • Utang Ranuwijaya, pengantar Ilmu Hadits, (Cet.III; Jakarta, gaya Media Pratama,1998).



[1]Prof.Dr.Muhaimin,MA, Dr.Abdul Mujib,M.Ag, Dr.Jusuf Mudzakkir,M.Si, Kawasan dan wawasan studi Islam, (Cet 1 : Jakarta, Kencana, 2005) h. 1474
[2]Ibid hal. 148

[3]Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet 11, Yogyakarta :Tiara wacana Yogya, 2003) h. 29
[4]Munzier Supatra, Op. Cit, h. 76-77
[5]Muhammad Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat tadwin, diterjemahkan oleh: A.H.Akram Fahmi, dengan judul Hadits Nabi sebelum dibukukan, (Cet.I:Jakarta, Gema InsaniPress, 1999) h.36-38
[6] Utang Ranuwijaya, pengantar Ilmu Hadits, (Cet.III; Jakarta, gaya Media Pratama,1998)h. 66

[7] Muhammad Ajaj al-Khatib, Op. Cit, h. 3,6,9,10
[8]Prof.Dr.Muhaimin,MA, et al, Op. Cit, h.150

[9] Muh.Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet 11, Yogyakarta :Tiara wacana Yogya, 2003).

[10]Prof.Dr.Muhaimin,MA, et al, Op. Cit, h. 152
[11]Ibid, h. 15319
[12] Utang Ranuwijaya, pengantar Ilmu Hadits, (Cet.III; Jakarta, gaya Media Pratama,1998).

No comments:

Post a Comment