MAKALAH
PEMIKIRAN PSIKOLOGI ISLAM
Oleh : Fajrul Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dewasa ini, kiblat ilmu dan teknologi adalah
Barat. Agar umat Islam menjadi umat yang maju dan kompetitif, maka umat Islam
harus menuntut, menyerap, mempelajari, dan menguasai ilmu dan teknologi
tersebut kepada bangsa Barat.
Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang
dewasa ini sedang berkembang pesat di dunia Barat. Psikologi telah
memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam membantu manusia untuk memecahkan
berbagai problema dan menyimak misteri hidup dan kehidupannya.
Melihat sumbangan psikologi yang demikian
besar, maka psikologi adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh umat Islam.
Tetapi sebagai ilmu yang dibangun dan dikembangkan dalam budaya Barat yang
sebagian berbeda dengan budaya Islam, maka sangat mungkin kerangka pikir (mode
of thought) psikologi dipenuhi oleh pandangan-pandangan atau nilai-nilai
hidup masyarakat Barat yang sebagian besar berbeda, dan mungkin sangat
bertentangan, dengan pandangan atau nilai-nilai Islam.
B.
Rumusan
masalah
Makalah ini membahas tentang :
1.
Pemikiran
psikologi dalam perkembangan pemikiran Islam dengan memfokuskan pembahasan pada
latar belakang kemunculan pemikiran psikologi dalam khazanah pemikiran Islam.
2.
Perkembangan
diskursus paradigma psikologi dalam Islam guna memberikan gambaran pada pembaca
tentang apa yang berlangsung saat ini dalam pemikiran Islam dalam bidang
psikologi ini.
3.
implikasi
pemikiran psikologi dalam dunia Islam untuk memberikan gambaran terkini pada
pemikiran psikologi dalam dunia Islam.
C.
Tujuan
Makalah
ini diharapkan dapat menjadi rujukan ringan dalam menyemai, memupuk,
menumbuhkan dan memetik hasil kerja dalam bidang psikologi Islam yang
dinanti-nantikan produksinya bukan saja oleh kalangan Muslim, namun oleh semua
manusia yang ingin jati diri kemanusiaanya sempurna pertumbuhan dan
perkembangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Kemunculan Pemikiran Psikologi Dalam Islam
Menapak-tilasi
latar belakang kajian psikologi dalam Islam dilakukan pertama sekali
dengan menelusuri ayat-ayat Alqur’an dan Hadis yang memotivasi manusia untuk
mengkaji dirinya sendiri yang antara lain adalah:
وَفِي
الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
﴿٢١﴾
Artinya :
Dan
di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin 8 Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada
memperhatikan? (QS. 51/Al-Dzariat: 20-21)
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya:
Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk
dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu
adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu? (QS. 41/Fuşilat: 53)
Termasuk
dalam hal ini mengkaji sisi psikologis manusia.
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً ﴿١٩﴾ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ
جَزُوعاً ﴿٢٠﴾ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً ﴿٢١﴾
Artinya:
Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir 8 Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah 8 dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS.
70/Al-Ma’ârij: 19-21)
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا ﴿٧﴾ فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
﴿٨﴾ قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا ﴿٩﴾ وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ﴿١٠﴾
Artinya:
Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) 8 Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya 8 Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu 8 Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS.
91/Al-Syams: 7-10)
Demikian juga
hadis-hadis Rasulullah saw. banyak bermuatan tentang kejiwaan manusia yang
antara lain adalah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ قَالَ
وَأَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِىُّ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ
مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ
مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ».
Artinya:
Memberitakan kepada kami Yahyâ ibn Ayyûb dari ibn ‘Ulaiyah ia berkata memberitakan kepada kami Sulaimân al-Taimiy dari Anas ibn Mâlik ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, menyia-nyiakan usia dan dari sifat kikir. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari fitnah kehidupan serta kematian.
Memberitakan kepada kami Yahyâ ibn Ayyûb dari ibn ‘Ulaiyah ia berkata memberitakan kepada kami Sulaimân al-Taimiy dari Anas ibn Mâlik ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, menyia-nyiakan usia dan dari sifat kikir. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari fitnah kehidupan serta kematian.
Dengan demikian jelas bahwa sumber utama ajaran Islam yang memuat
hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia secara fisikal, psikologikal,
spiritual, dan sosial turut berperan dalam memicu lahirnya kajian psikologi
dalam Islam.
Kedua,
dilatarbelakangi oleh kajian tentang akhlak dan tasawuf dan berbagai kajian
yang berkaitan dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, membuat para
ilmuwan Islam klasik melakukan kajian mendalam tentang jiwa dengan fokus antara
lain pada nafs, qalb, rûh, dan ‘aql. Kajian
ini juga menyertakan para filusuf Muslim yang membahas rûh dan nafs
dengan mengadopsi kajian roh dari filsafat Yunani. Selama lebih kurang tujuh
abad psikologi dibahas dalam kajian filsafat dan tasawuf.[1]
Hasilnya
adalah, pada masa keemasan Islam, psikologi ditekuni dan dikembangkan oleh dua
kalangan: filusuf dan sufi, yang melahirkan psikologi-falsafi dan
psikolog-sufistik. Mereka telah melahirkan konsep tentang jiwa secara
menyeluruh dengan melakukan kajian terhadap nas-nas naqliyah dan
melakukannya dengan metode empiris (perenungan, observasi dan praktek) secara
sistematis, spekulatif, universal, dan radikal.[2]
B.
Paradigma
Psikologi Dalam Perspektif Islam
Paradigma adalah “suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalannya.”[3] Dengan demikian paradigma psikologi secara
umum adalah prilaku manusia dan faktor-faktor yang memicu prilaku tersebut.
Di
dalam Islam, manusia diciptakan dengan fungsi yang tidak hanya terbatas untuk
menata kehidupan manusia, ia juga memiliki fungsi sebagai hamba Allah dan juga
khalifah Allah. Sebagaimana terdapat dalam Firman Allah berikut ini:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(QS. 51/al-Dzariyat: 56)
Sebagai hamba manusia harus menjalin hubungan dengan Allah dan
menujukan semua aktifitas jasmani dan rohaninya hanya pada Allah. Selain itu, Sebagai
khalifah di bumi manusia harus menata kehidupannya dengan sesama manusia dan
semua makhluk Allah yang lain termasuk alam raya. Kedua fungsi tersebut harus
dilakukan sesuai dengan hukum-hukum Allah yang telah Ia tetapkan dalam alam
dunia ini. Oleh sebab itu mengkaji hukum-hukum Allah tersebut merupakan
kemutlakan jika manusia ingin berhasil menata kehidupannya dan kehidupan alam
semesta.
Dengan demikian yang menjadi pokok persoalan psikologi dalam
padangan Islam adalah keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama
manusia, dan alam raya.
Paradigma
psikologi dalam perspektif Islam tidak dapat dipisahkan dari cara manusia
mengkaji psikologi itu sendiri. Dari perspektif Islam, manusia dianugerahi tiga
alat dalam mencari ilmu pengetahuan: panca indera, akal (‘aql, lub),
dan hati (qalb, fu’ad).[4]
C.
Implikasi
Pemikiran Psikologi Dalam Dunia Islam
Dalam bidang psikologi tentu saja islamisasi tidak terelakkan,
sebab konsep psikologi yang saat ini ada gagal membicarakan manusia secara
totalitas. Kegagalan ini berupa pengkajian terfokus pada manifestasi gejala
jiwa (tingkah laku) dan bukan jiwa itu sendiri, penafian unsur-unsur spiritual
manusia, dan dibangun atas dasar penafsiran fakta ilmiah sedangkan fakta ilmiah
tidak selalu sesuai dengan teori dan selalu dipengaruhi bias kepribadian dan
budaya pembangunnya. Para ahli psikologi Muslim dan para pencinta psikologi Islam
akhirnya aktif memunculkan Psikologi Islam dalam dunia psikologi.
Untuk mewujudkan Psikologi Islam ini
setidaknya ada empat tahap yang harus ditempuh:
Pertama, melakukan reskonstruksi sistematis terhadap Psikologi
agar dapat melahirkan konsep yang mengintegrasikan ketauhidan dengan seluruh
aspek kehidupan manusia yakni: sejarah, pengetahuan, metafisika, etika, tata
sosial, ummah, keluarga, tata politik, tata ekonomi, tata dunia dan estetika. Proses islamisasi Psikologi ini tentu saja
sama dengan proses islamisasi sains dan tehnologi lainnya. Dalam hal ini Ismail Raji
al-Faruqi menetapkan lima prinsip pokok dan lima sasaran rencana islamisasi.[5]
Kedua, mensosialisasikan hasil-hasil rekonstruksi Psikologi
Islam kemudian dikembangkan, diperkaya, dilipat gandakan dan yang tidak kalah
pentingnya juga harus ditingkatkan dengan memperluas fungsinya sampai kepada
dimensi masyarakat secara global.
Ketiga, mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga keilmuan Islam
dalam usaha pencapaian pengembangan Psikologi Islam. Termasuk didalamnya
mengembangkan budaya ilmiah.
Keempat, membentuk dan menyebarluaskan Psikologi Islam sebagai satu bentuk
kebudayaan dan peradaban Islam. Ini merupakan titik akhir dari perjuangan umat
Islam terhadap kebudayaan dan peradaban manusia. Tahap ini sangat penting,
sebab kebudayaan dan peradaban yang sekarang ini terbangun dari gagasan-gagasan
yang didasarkan pada asumsi, meredupkan aqidah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam perspektif islam psikologi
adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh umat Islam. Karena psikologi
telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam membantu manusia untuk
memecahkan berbagai problema dan menyimak misteri hidup dan kehidupannya.
Yang
menjadi pokok persoalan psikologi dalam padangan Islam adalah keselarasan
hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, dan alam raya. Paradigma
psikologi dalam perspektif Islam tidak dapat dipisahkan dari cara manusia
mengkaji psikologi itu sendiri. Dari perspektif Islam, manusia dianugerahi tiga
alat dalam mencari ilmu pengetahuan: panca indera, akal (‘aql, lub),
dan hati (qalb, fu’ad).
DAFTAR PUSTAKA
Shaleh, Abd. Rahman, 2003, Psikologi suatu pengantar dalam
perspektif islam, Jakarta : prenada media
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina,
2000)
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali, 2001)
Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007)
[1]
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 261.
[2] Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, (Jakarta:
Rajawali, 2001), h. xiv.
[3]
Ali Mudhafir, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1992), h.
114 dikutip oleh Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 341.
[4] Shaleh,
Abd. Rahman, 2003, Psikologi suatu pengantar dalam perspektif islam, Jakarta
: prenada media
[5]
Isma’il Raji al-Faaruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life,
terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988).